Wednesday, 4 February 2009

pendam

salam
sudah lama aku pendam apa yang aku ingin cakapkan ini
sudah lama. nah aku luahkan sekarang.

aku dengan jujur mahu bersuara bahawa perkahwinan besar-besaran mawi ekin (4 juta ka?) tidak relevan sama sekali.



yes, untuk semua, untuk sesiapa sahaja. ya tidak relevan. bukan kerana aku tak suka mawi, bukan kerana aku dengki ekin. buatlah perkahwinan orang biasa sebesar itupun akan aku bidas juga. ya, apa mawi boleh lakukan. dia hanya menurut kata. orang nak sponsor, kasilah. takkan nak tolak? rezeki dia, biarlah.

begitukah mawi? apa benarkah mawi tidak boleh menolak? mawi, oh mawi, kamu tidak punya mulutkah? kamu tidak punya kata sendirikah mawi? kamu tidak kah boleh berkata pada sponsor-sponsor kamu yang kaya raya itu "tak payahla sponsor kawin aku banyak sangat, apa kata duit sponsor itu saya dermakan pada tabung Gaza, atau rumah anak yatim?mahu tak wahai panaja?".

mawi. kamu lelaki kan? bukankah kamu idola? tapi sayang kamu tak cukup tegas.
mawi, aku minta maaf kalau guris hati kamu. ekin, aku minta maaf kalau guris hati laki kamu.
tapi aku cakap apa yang aku rasa. aku tau aku bidas kamu, macam lah aku ni sempurna. tapi, aku suka luahkan pendaman yang aku pendam ini. bukan nya aku benci kamu. cuma aku fikir, kerelevenan itu tidak ada, tidak wujud dan tidak paralel dalam perkahwinan ekstravaganza kamu.

mawi,
andaikata kamu baca,
kamu marahlah.
kamu samanlah.
negara kita demokrasi kan?

benda dah lepas pun.
pengajaran lah untuk yang masa hadapan ya?

oh ya.
aku rasa aku ingin nyatakan
aku kurang enak membaca suratkhabar utama dan majalah sekarang
kerana artis kegemaran ramai bertiub
berskirt pendek bawah bontot sikit lagi nampak
ya, atilia tu, dalam hip berita harian. jgn pakai begitu lagi ya. saya sakit mata.

dan tolonglah pereka kostum spa-q. tolonglah simpan aurat-aurat artis kita di kaca tv tu. negara kita sudah nampak kemajuan, tapi menunjukkan lebih kemunduran dari segi akhlaknya.

p/s aku suka tok mat kita dulu. ada peraturan dlm hiburan. rambut lelaki tak boleh lebih dr bahu dan skirt artis perempuan harus tidak atas dari lutut. sekarang, kita sudah lupa dan alpa. dan adik-adik kita ikut semuanya :(

7 comments:

Imron Kuswandi M. said...

PANTASKAH KITA MENGHINA PIHAK LAIN?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya pada saat kita sedang memandang rendah orang lain, maka pada saat itu pulalah (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih tinggi dari padanya. Pada saat kita sedang meremehkan orang lain, maka pada saat itu pula (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih hebat dari padanya. Dan pada saat kita sedang menghina orang lain, maka pada saat itu pula (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih mulia dari padanya. Demikian seterusnya...

Padahal, Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Siapa yang merasa dirinya besar, lalu sombong dalam jalannya, maka ia akan menghadap pada Allah, sedang Allah murka padanya”. (H. R. Ahmad).

Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Hujuraat, Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat. 12).

Saudaraku…,
Bertawadhu’lah, karena tawadhu’ (merendahkan diri) itu tidak akan menambah kepada seseorang, kecuali ketinggian. Semoga Allah meninggikan derajatmu. Dan berilah ma’af, karena ma’af itu tidak menambah sesuatu bagi seseorang, kecuali kemuliaan. Semoga Allah memuliakan kamu. Dan bersedekahlah, karena sedekah itu tidak akan mengurangi harta, melainkan justru akan bertambah banyak. Semoga Allah merahmatimu.

Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda: “Tawadhu’ (merendahkan diri) itu tidak akan menambah kepada seseorang, kecuali ketinggian. Karena itu bertawadhu’lah kamu, semoga Allah meninggikan derajatmu. Dan pemberian ma’af itu tidak menambah sesuatu bagi seseorang, kecuali kemuliaan. Karena itu ma’afkanlah olehmu, semoga Allah memuliakan kamu. Dan sedekah itu tidak akan mengurangi harta, melainkan akan bertambah banyak. Maka bersedekahlah kamu, semoga Allah merahmati kamu”. (H. R. Ibn Abud Dunia). {Tulisan ini diambilkan dari: www.imronkuswandi.blogspot.com Maaf, jika kurang berkenan}.

Imron Kuswandi M. said...

SIKAP TAWADHU’ (MERENDAHKAN DIRI)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Sekalipun orang lain (mungkin) mengatakan bahwa kita telah meraih kesuksesan, kita telah mempunyai kedudukan atau kita mempunyai banyak kelebihan, maka janganlah kita terlena dengan semuanya itu. Ingatlah, bahwa ketika orang lain sedang memuji kita, hal itu terjadi karena mereka belum mengetahui kelemahan kita. Dengan kata lain, karena pada saat itu Allah sedang menutupi kelemahan kita! Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya segala pujian itu hanyalah untuk-Nya. (QS. 1. 2).

Saudaraku…,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. (QS. 17. 37).

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik”. (QS. 25. 63).

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS. 31. 18-19).

”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya orang yang mendahului memberi salam itu terbebas dari sombong”. (H. R. Albaihaqi dan Alkhathib).

Saudaraku…,
“Tawadhu’ (merendahkan diri) itu tidak akan menambah kepada seseorang, kecuali ketinggian. Karena itu bertawadhu’lah kamu, semoga Allah meninggikan derajatmu. Dan pemberian ma’af itu tidak menambah sesuatu bagi seseorang, kecuali kemuliaan. Karena itu ma’afkanlah olehmu, semoga Allah memuliakan kamu. Dan sedekah itu tidak akan mengurangi harta, melainkan akan bertambah banyak. Maka bersedekahlah kamu, semoga Allah merahmati kamu”. (H. R. Ibn Abud Dunia).

Saudaraku…,
Bilakah seseorang dapat disebut tawadhu’? Jawabnya ialah jika ia tidak merasa mempunyai kedudukan atau kelebihan, dan tidak merasa bahwa ada orang yang lebih rendah dari dirinya. (Abu Yazid). {Tulisan ini diambilkan dari: www.imronkuswandi.blogspot.com Maaf, jika kurang berkenan}.

nani said...

Imron :
terima kasih atas nasihat yang panjang lebar itu :)
saya terima dengan hati terbuka.
tapi saya masih teguh menyokong entry saya tentang kerelevenan perkahwinan mawi ekin, bukan menghina personaliti berdua itu tersendiri. saya tahu sy seorang islam, manusia, dan saya cuma menyurakannya, kerana kalau disimpan akan bernanah dan berpenyakit. Semoga Allah menilai saya dengan apa adanya, tidak kiralah bagaimana, kerana yg saya tahu, salah itu dari saya, dan hanya Allah akan menentukan dosa atau pahala saya ini.

oh ya, bukan mencari salah mawi ekin, cuma bersuara, mengapa yang lebih baik dr yang berlaku itu tidak dilakukan :)

juga pengajaran untuk mereka yang akan datang, kerana kerelevenan itu sudah tiada terbisa

thanks anyway for the great comment! :)

senyum**_**

SisFaana said...

uhuk uhuk....
nani ade blog juga rupanyer...
hiks :D

nani said...

mee chee : ya! saya punya blog!
:P

Imron Kuswandi M. said...

NASEHAT-MENASEHATI

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Sudah semestinya diantara kita untuk saling mengingatkan serta saling memberi nasehat sebagaimana penjelasan Al Qur’an berikut ini: “… dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al ‘Ashr. 3).

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maa-idah. 2).

Saudaraku…,
Dalam Al Qur’an surat Al A’raaf ayat 16-17, diperoleh keterangan bahwa: “Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at)”.

Jadi, berhati-hatilah wahai saudaraku. Karena sekalipun niat kita adalah baik, jika tidak berhati-hati, kita bisa saja terjebak dalam jeratan syaitan.

Saran: jika kita ingin mempublikasikan suatu kasus untuk diambil hikmahnya, sebaiknya buat saja kisah fiktif. Atau, buatlah suatu kasus yang bersifat umum, yang bisa menimpa siapa saja. Dengan cara seperti ini, maka kita tidak akan menyinggung satu pihak manapun. Mungkin dua tulisan di bawah ini bisa dijadikan sebagai bahan renungan. Semoga bermanfaat! Maaf, jika kurang berkenan.

Wassalam
Dari saudara seiman: Imron Kuswandi M.

1. KISAH FIKTIF:

BETAPA PELITNYA KITA UNTUK BERSYUKUR...!

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bung Fulan adalah seorang pemuda alumnus sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkenal di Surabaya yang baru saja diterima sebagai staf pengajar/dosen di sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terkemuka di kota yang sama. Dengan gaji tetap per bulan, dia sudah merasa sangat bahagia dan menikmati profesinya sebagai seorang dosen.

Kini setelah menjadi dosen, dia semakin sibuk dengan kegiatan mengajar, membimbing praktikum, membimbing/menguji tugas akhir/skripsi, dll. Sebagai tuntutan profesi, dia juga mulai menyibukkan diri dengan kegiatan penelitian. Berbagai kegiatan seminar penelitian di tingkat nasional sudah mulai dia ikuti sebagai salah satu sarana untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Tak lupa, dia juga aktif dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu wujud kepeduliannya kepada masyarakat.

Demikianlah, hari-hari dia lalui dengan berbagai kesibukan. Hingga pada akhirnya, gaji tetap yang biasa/rutin dia nikmati per bulan, tanpa dia sadari seperti berlalu begitu saja. Dia baru merasa mendapatkan rezeki jika ada penghasilan tambahan, yaitu ketika hr. pembimbing/penguji skripsi cair, meski jumlahnya tidak sebanding dengan gaji bulanan yang dia terima. Demikian juga saat hr. pembimbing praktikum, hr. mengajar, hr. koreksi UTS/UAS serta penghasilan lainnya yang sifatnya incidental.

Saudaraku…,
Apa yang dialami oleh Bung Fulan tersebut, bisa saja terjadi pada diri kita, terutama bagi kita yang bekerja sebagai karyawan dengan gaji tetap per bulan. Tanpa kita sadari, bisa jadi kita baru merasa mendapatkan rezeki ketika ada penghasilan tambahan yang sifatnya incidental, meski jumlahnya tidak sebanding dengan gaji bulanan yang kita terima.

Demikianlah, sesuatu yang biasa/rutin kita peroleh/kita nikmati, seolah hal itu berlalu begitu saja. Padahal semuanya tidaklah datang dengan sendirinya. Karena semuanya merupakan nikmat pemberian Allah Yang Maha Pemurah, yang seringkali kita lupakan. Dan tanpa kita sadari, seringkali kita baru merasa mendapatkan nikmat/rezeki dari-Nya ketika ada nikmat/rezeki tambahan yang sifatnya incidental, meski nilainya tidak sebanding dengan nikmat/rezeki yang biasa/rutin kita peroleh/kita nikmati. Ah… betapa pelitnya kita untuk bersyukur…!

“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Baqarah. 243). “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah)”. (QS. Ibrahim. 34).

Saudaraku…,
Kondisi di atas, ternyata juga dapat terjadi pada semua aspek kehidupan kita yang lain. Nikmat pendengaran kita, misalnya. Karena sudah biasa kita terima sejak kita terlahir di dunia ini, maka nikmat pendengaran itu seolah-olah seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa setiap saat kita telah diberi nikmat pendengaran sehingga kita dapat menikmati keramaian/hiruk pikuknya kehidupan dunia ini.

Demikian pula dengan nikmat penglihatan. Karena sudah biasa kita nikmati sejak kita terlahir di dunia ini, maka seolah-olah nikmat penglihatan itu seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa setiap saat kita telah diberi nikmat penglihatan sehingga kita dapat menikmati keindahan dunia ini.

Hal yang sama juga terjadi dengan hati kita. Karena sudah kita terima sejak kita terlahir di dunia ini, seolah-olah hal itu seperti berlalu begitu saja. Sepertinya kita tidak pernah merasa bahwa dengannya, kita dapat merasakan bahagianya hidup ini, juga perasaan senang, sedih, gembira, terharu, dst. silih berganti, sehingga menjadikan hidup ini terasa lebih bermakna, tidak monoton dan membosankan.

Katakanlah: "Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS. Al Mulk. 23). “Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (QS. Al Mu’minuun. 78). “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (QS. As Sajdah. 9).

Saudaraku…,
Demikian pula halnya dengan adanya malam dan siang yang secara teratur silih berganti. Sehingga dengannya kita dapat bekerja dan beristirahat. Bisa dibayangkan jika malam dan siang tidak bergantian secara teratur. Misalnya, tiba-tiba malam berlangsung sangat lama, baru berganti siang. Demikian pula sebaliknya, sehingga sulit diprediksi kapan malam berganti siang, juga siang berganti malam. Kondisi seperti ini pasti akan membuat hidup kita tidak teratur, jauh dari kenyamanan.

Namun, karena malam dan siang yang secara teratur silih berganti tersebut telah biasa kita nikmati sejak kita terlahir di dunia ini, seolah-olah hal itu seperti berlalu begitu saja. Ah… betapa pelitnya kita untuk bersyukur…! “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur”. (QS. Al Furqaan. 62).

Saudaraku…,
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu**, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat)-Ku”. (QS. Al Baqarah. 152). **) Maksudnya: Aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu. “Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (QS. Adh Dhuhaa. 11).

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman. 12). {Tulisan ini diambilkan dari: www.imronkuswandi.blogspot.com Maaf, jika kurang berkenan}.

NB.
Bung Fulan pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas!

2. KASUS YANG BERSIFAT UMUM:

SEOLAH TIDAK BISA BERNAFAS LAGI

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Ketika kita baru lulus sekolah/kuliah dan masih menjadi pengangguran, tentunya kita bisa merasakan betapa banyaknya uang Rp 100.000,- itu. Maklum, pada kondisi seperti itu, yang bisa kita lakukan hanyalah meminta/menunggu pemberian dari orang tua atau kakak-kakak kita yang telah terlebih dahulu bekerja.

Namun begitu kita mulai bekerja, maka uang sebanyak Rp 100.000,- itu menjadi biasa saja, bahkan terlihat sangat sedikit. Karena penghasilan yang kita terima adalah jauh lebih besar. Tentu saja pada awalnya kita akan sangat bergembira dengan hal ini. Dengan memiliki penghasilan sendiri, kita bisa lebih leluasa dalam menjalani hidup ini. Banyak hal yang dahulu hanya berupa mimpi, sekarang bisa menjadi kenyataan.

Namun, lama kelamaan kita mulai terbiasa dengan penghasilan tersebut, hingga pada akhirnya hal itu sudah menjadi suatu kebutuhan. Artinya kebutuhan hidup kita lama kelamaan menyesuaikan dengan penghasilan kita. Apalagi secara naluriah, kita mempunyai kecenderungan untuk membandingkan dengan teman sejawat dan ingin menjadi yang ter... (terkaya, terbaik, tersukses, dst.). Hingga pada perkembangan berikutnya, justru kebutuhan hidup kita bisa melampaui penghasilan kita. Pada saat-saat seperti ini, kita mulai merasakan kembali, betapa beratnya menjalani hidup ini. Seolah-olah kita tidak bisa bernafas saja. Hingga ketika karier kita mulai meningkat, lega-lah kita. Karena kini kebutuhan hidup kita dapat tertutupi kembali.

Namun, dengan berjalannya waktu, lagi-lagi kita mulai terbiasa dengan penghasilan tersebut, hingga pada akhirnya hal itu sudah menjadi suatu kebutuhan. Artinya kebutuhan hidup kita lama kelamaan menyesuaikan dengan penghasilan kita. Dan karena secara naluriah, kita mempunyai kecenderungan untuk membandingkan dengan teman sejawat dan ingin menjadi yang ter... (terkaya, terbaik, tersukses, dst.), maka pada perkembangan berikutnya, justru kebutuhan hidup kita lagi-lagi bisa melampaui penghasilan kita. Dan lagi-lagi, kita dapat merasakan betapa beratnya menjalani hidup ini, seolah kita tidak bisa bernafas saja. Hingga ketika karier kita meningkat lagi, lega-lah kita, karena kini kebutuhan hidup kita dapat tertutupi kembali. Demikian seterusnya, hal ini akan terus berulang.

Saudaraku…,
Jika karier kita terus menanjak, maka (mungkin) kita masih bisa terus mengikuti kebutuhan hidup kita yang juga terus meningkat. Namun, petaka bisa saja datang sewaktu-waktu. Yaitu ketika perjalanan karier kita tidak berjalan sesuai dengan harapan. Ketika hal itu terjadi, dimana penghasilan tak kunjung meningkat, sementara kebutuhan hidup terlanjur terus meningkat hingga jauh meninggalkan batas penghasilan kita, jelaslah bahwa kita akan merasakan betapa hidup ini semakin berat saja. Begitu beratnya beban hidup yang kita rasakan, hingga rasanya kita benar-benar tidak bisa bernafas lagi.

Pada tahapan ini – jika tidak berhati-hati – kita bisa terjebak dalam jeratan syaitan. Hingga korupsi menjadi jalan pintasnya. Jika ini yang menjadi pilihan, maka hal ini nampak sebagai jalan keluarnya. Namun, dengan berjalannya waktu, lagi-lagi kita mulai terbiasa dengan ”tambahan penghasilan” tersebut, hingga pada akhirnya hal itu sudah menjadi suatu kebutuhan. Dan karena kebutuhan hidup terus saja meningkat, maka untuk menutupinya, besaran korupsi juga harus terus ditingkatkan. Hingga tiba-tiba bau busuk itu tercium oleh aparat dan penjara menjadi tempat peristirahatan kita. Atau jika kita bisa selamat darinya, maka kita akan terus dan terus melakukan korupsi hingga tiba-tiba ajal menjemput kita dan neraka menjadi persinggahan terakhir kita. Na’udzubillahi mindzalika!

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Faathir. 5).

Ya… Rabbi,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (QS. Al Faatihah. 6 – 7).

Ya… Rabbi,
Berilah kekuatan kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang hanya berharap kepada Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin!

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah. 59). {Tulisan ini diambilkan dari: www.imronkuswandi.blogspot.com Maaf, jika kurang berkenan}.

nani said...

thank you for the nasihat. semoga tuhan balas jasa anda :)

mi amor

Daisypath Anniversary tickers